Friday 12 June 2009

RS Omni Terancam Jeratan Pidana

09/06/2009 - 12:02
RS Omni Terancam Jeratan Pidana
Gayus Lumbuun
(inilah.com /Raya Abdullah)

INILAH.COM, Jakarta - Intervensi Rumah Sakit Omni Internasional terhadap kasus Prita Mulyasari tengah diselidiki. RS yang diragukan label internasionalnya bisa dijerat secara pidana jika terbukti melakukan intervensi sehingga pasal 27 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat dimasukkan dalam kasus Prita Mulyasari.

"Jika sampai terbukti, RS Omni bisa dituntut dengan pasal 55 dan 56 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," kata Anggota DPR Komisi III Bidang Hukum, Gayus Lumbuun di Jakarta, Selasa (9/6).

Gayus memaparkan, pasal-pasal tersebut terkait dengan keikutsertaan dalam suatu konspirasi kejahatan. Indikasi dari intervensi tersebut antara lain dari adanya dugaan pemberian sejumlah fasilitas layanan gratis di RS Omni Internasional kepada para jaksa dari Kejaksaan Negeri Tangerang.

Ia menegaskan, pihak Kejagung harus terbuka dalam pemeriksaan terhadap pihak Kejari Tangerang dan Kejaksaan Tinggi Banten.

"Kejagung harus memperhatikan kepentingan rakyat," ujar Gayus.

Kapuspenkum Kejagung Jasman Panjaitan sempat mengatakan, pihaknya akan mengkaji kebenaran pelayanan gratis kesehatan tersebut. "Itu (layanan gratis) sebatas ide, tapi belum ada yang memanfaatkanya," ujar Jasman. [*/ana]

PENEGAK HUKUM MUDAH SAJA BERKELIT...

Politik
10/06/2009 - 13:43
Kejari Ngaku Dapat Voucher Gratis RS Omni

INILAH.COM, Tangerang - Kejari Tangerang membantah tuduhan menerima pengobatan gratis dari RS Omni Tangerang. Namun diaku mereka menerima voucher gratis dari 8 RS, salah satunya RS Omni.

Menurut Kajari Tangerang Suyono, mereka diberikan voucher gratis medical cek-up (MCU) dan paps smear melalui rujukan surat PT Askes Kantor Cabang Utama Tangerang, Banten.

"Jadi tidak benar Kejari diberikan fasilitas gratis dari RS Omni, yang benar semua PNS termasuk Kejari mendapatkan voucher pengobatan gratis dari PT Askes Tangerang," kata Suyono di Tangerang, Rabu (10/6).

Menurutnya, berdasarkan surat No 309/1003/0409 tertanggal 29 April 2009 perihal pelayanan medical cek-up dan paps smear, yang ditandatangani Senior Manager PT Askes KCU Tangerang Benjamin Saut yang ditujukan kepada Kejari telah diterima sejak Mei 2009 lalu.

"Dari surat rujukan tersebut kita diberikan fasilitas cek-up gratis RS Omni, tetapi melalui keterangan memiliki Askes dari PT Askes," kata Suyono.

Dia mengatakan, Kejari diberikan fasilitas berobat gratis di 8 RS, empat di antaranya merupakan RSUD yang berada di Banten dan empat RS swasta di Tangerang. Salah satunya surat rujukan cek-up di RS Omni, Alam Sutera, Kota Tangerang Selatan.

"Jadi pemeriksaan gratis ini tidak ada hubungannya dengan kasus Prita, kita diberikan fasilitas gratis dari PT Askes, dan RS Omni sebagai salah satu tempat medical cek-up saja," ujarnya.

Dijelaskannya, dari fasilitas gratis tersebut gaji pejabat dan pegawai Kejari sebagai peserta medical check up dipotong dua persen. Setiap pegawai Kejari diberikan voucher check up gratis dari PT Askes sejak 1 Mei hingga 30 Juni 2009.

"Voucher gratis dari PT Askes tersebut tidak selamanya digunakan di 8 RS, apalagi saya tidak pernah ke sana (RS Omni) sendirian, melainkan kita dijemput dengan mobil operasional Omni untuk berobat, sampai saat ini saya tidak pernah melakukan check up di RS Omni," katanya.

Sementara itu, Kepala Seksi Hubungan Pelanggan PT Askes KCU Tangerang Yan Rizard mengatakan ada sekitar 49 intansi pemerintahan di Kabupaten Tangerang termasuk Kejari Tangerang yang sedang mendapatkan program promotif dan preventif, salah satunya pelayanan MCU dan paps smear di RS Omni.

"Kejari juga kita berikan fasilitas gratis pemeriksaan di beberapa RS Swasta yang vouchernya diberikan oleh PT Askes, jadi pejabat maupun staff Kejari berhak berobat di RS Omni," imbuhnya. [*/ana]

MANAJEMEN RS OMNI SEMENA-MENA

Politik
11/06/2009 - 20:13
Tahan Prita, Jaksa Dikecam Arogan

Prita Mulyasari
(inilah.com/Wirasatria)

INILAH.COM, Tangerang - Tindakan jaksa yang menyeret Prita Mulyasari (32) ke meja hijau dan ditahan di LP Wanita Tangerang menuai kecaman. Jaksa dinilai arogan.

"Tindakan jaksa itu tidak manusiawi dan salah sasaran, maka sebaiknya Prita dibebaskan saja dari tuntutan hukum," tuntut Ketua LSM Pergerakan Islam Untuk Tanah Air (PINTAR) Alfian Tanjung di Tangerang, Kamis (11/6).

Ia menegaskan, Prita harus dibebaskan tanpa syarat, karena tindakan yang telah dilakukan kejaksaan keliru dan menyimpang dari UU.

Manajemen rumah sakit itu, katanya, bertindak sewenang-wenang terhadap warga yang membutuhkan pertolongan medis.

PINTAR menuntut pemerintah meninjau kembali UU yang mengatur kesehatan dan pelayanan dokter serta rumah sakit, sedangkan UU itu hanya berpihak kepada dokter dan RS ketimbang pasien yang kedudukannya lemah.

Sikap lainnya, yaitu ada persoalan lumpuhnya moral dan rasa keadilan penegak hukum. Mereka harus belajar kembali bagaimana memahami UU dengan benar, sehingga tak salah langkah dan merugikan pihak lain.

Diharapkan KPK turun tangan dan bersikap proaktif untuk mengecek kemungkinan adanya transaksi keuangan pada alat negara itu.

Prita Mulyasari didakwa mencemarkan nama baik RS Omni Internasional, Serpong, Kota Tangerang Selatan melalui surat elektronik (e-mail) yang disampaikan kepada rekannya akibat pelayanan RS yang tidak maksimal.

Bahkan Prita diseret ke meja hijau karena dianggap telah melanggar UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elekronika (ITE) dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Atas tindakan itu, maka Prita akhirnya dijebloskan ke LP Wanita Tangerang selama 21 hari dengan status tahanan, lalu diubah menjadi tahanan kota dan diperbolehkan melihat kedua anak dan suami di rumahnya. [*/ana]

JANGAN MENTANG-MENTANG PUNYA BACKING KUAT...

Politik
12/06/2009 - 14:30
Kajati Banten Dicopot Terkait Prita

INILAH.COM, Jakarta - Kajati Banten Dondy K Sudirman dicopot dari jabatannya yang diduga terkait kasus penanganan Prita Mulyasari. Dondy K Sudirman diangkat menjadi staf ahli Jaksa Agung.

"Sedangkan posisi Kajati Banten, diisi oleh Abdul Wahab Hasibuan yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kajati (Wakajati) Sumatera Selatan," kata Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan, di Jakarta, Jumat (12/6).

Kapuspenkum menyatakan posisi Dondy K Sudirman menjadi staf ahli merupakan mutasi melalui Surat Keputusan (SK) Jaksa Agung Nomor 02/A/JA/VI/2009 tanggal 5 Juni 2009. "SK itu merupakan hasil rapat pimpinan," ujarnya.

Kendati demikian, Kapuspenkum membantah jika penggantian jabatan Kajati Banten tersebut merupakan pencopotan akibat penanganan perkara Prita Mulyasari.

"Ini mutasi biasa, dan dilakukan terhadap pejabat lainnya," bantahnya.

Sementara itu, Jamwas Hamzah Tadja, menyatakan, tidak menutup kemungkinan Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang akan turut diperiksa juga.

Ia menegaskan pihaknya sampai sekarang masih akan melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak yang menangani perkara Prita Mulyasari. "Saya akan ngomong kalau sudah selesai semua pemeriksaan," pungkasnya. [*/ana]

LABEL INTERNATIONAL? GAK BAKALAN NGURUSIN PRITA KAYAK GINI

Politik
12/06/2009 - 19:45
Menkes: Omni Bukan RS Internasional
Siti Fadillah
(inilah.com/ Subekti)
\
INILAH.COM, Surabaya - Keraguan DPR terjawab terkait label internasional RS Omni. Menurut Menkes, RS itu bukan bertaraf internasional.

"Saya akan berkoordinasi dengan Deplu untuk meninjau nama internasional yang dipakai beberapa rumah sakit," kata Siti Fadillah usai konferensi pers tentang pemberlakukan status waspada virus H1N1 (flu babi) di Indonesia, Surabaya, Jumat (12/6).

Menkes menegaskan bahwa RS Omni International milik orang Indonesia.

"Masalahnya terkait kasus Prita (pencemaran nama baik) dan kasus itu sebenarnya sudah berlangsung setahun, sejak Agustus 2008, karena itu kita nggak bisa intervensi sampai kasusnya selesai," ujarnya.

Namun, jika kasusnya dalam ranah hukum sudah selesai dan RS Omni International dinyatakan bersalah, maka akan ada tindakan dalam ranah kesehatan.

"Saya sebenarnya sudah memanggil pimpinan RS Omni International bersama MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Bahkan saya sudah mengumpulkan data-data sebelum memanggil mereka," katanya.

Dalam pertemuan itu, pemerintah dan Omni sepakat menunggu proses hukum yang berlangsung, kemudian MKDKI yang akan memberikan rekomendasi kepada Menkes.

"Nanti, saya akan bertindak sesuai rekomendasi dari MKDKI itu. Yang jelas, saya juga akan menertibkan pemakaian nama internasional bagi rumah sakit swasta yang nggak ada kaitannya dengan lembaga internasional," pungkasnya. [*/ana]

Wednesday 10 June 2009

BODOHNYA OMNI HOSPITALS

Politik
10/06/2009 - 17:43
'Bunuh Diri' RS Omni
Ana Shofiana Syatiri
Prita Mulyasari
(inilah.com/Wirasatria)

INILAH.COM, Jakarta - Niat hati ingin membungkam Prita Mulyasari atas pencemaran nama baik, manajemen RS Omni malah merusak citranya sendiri. Selain pelayanannya dinilai buruk, cap internasional RS yang terletak di kawasan elite Alam Sutera, Tangerang, itu pun dipertanyakan.

Langkah manajemen RS Omni untuk membungkam Prita dengan melaporkannya ke polisi atas pencemaran nama baik, boleh jadi awal penyedia jasa kesehatan itu 'menikam' dirinya sendiri. Keluhan Prita di milis bukan membuat mereka bercermin untuk memperbaiki pelayanan, malah memperkarakan ibu dua anak yang masih menyusui tersebut.

'Belati' yang dipakai oleh RS Omni adalah tulisan Prita. Tanpa berpikir panjang, manajemen RS Omni melaporkan Prita ke polisi. Hingga akhirnya Prita ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang, dan dibui.

Penzaliman yang dilakukan RS Omni pada pasiennya yang menumpahkan kekecewaannya dinilai sudah melanggar HAM oleh anggota Komnas HAM Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Nurcholish. Catatan medis pasien saja tidak mau diserahkan RS. Anehnya malah Prita yang dijebloskan ke penjara.

Pelayanan RS Omni pun diragukan. "Ini ada indikasi kuat kasus ini merupakan kasus pengalihisuan dari substansi buruknya pelayanan kesehatan menjadi isu pencemaran nama baik," ujar Sekjen Yayasan Kesehatan Perempuan Tini Hadad.

Namun Direktur RS Omni Internasional Bina Ratna Kusumafitri membantah memberi pelayanan buruk. Pihaknya tidak memberikan hasil print cek darah pertama, yang mencatat trombosit Prita sebesar 27.000/ul, karena terjadi kesalahan dalam mendiagnosa. "Hasil tidak valid dengan nilai trombisit 27.000, karena terjadi penggumpalan dan hasil tersebut tidak di-print. Kalau di-print terjadi malapraktik karena tidak seusai dengan penyakit diagnosa sebenarnya," ujar Ratna.

Pihak RS mengaku tidak ada unsur kesengajaan atas perbedaan diagnosa cek darah Prita yang kedua, yakni jumlah trombosit 181.000/ul. Yang disesalkan pihak RS adalah cara Prita yang menuliskan email berjudul 'Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tanggerang' tanpa klarifikasi dan menyebarkannya ke milis. Hal itu dinilai sangat merugikan RS Omni.

Harap-harap dapat pembelaan, manajemen RS Omni malah dipanggil menghadap Komisi IX DPR. Label internasional RS ini pun dipertanyakan. Sebab Depkes tidak mengetahui dari mana label internasional RS tersebut. Anggota komisi IX Max Sopacua juga mempertanyakan tentang perlindungan konsumen yang tertuang dalam pasal 4 UU 8/1999. Pasal tersebut berbunyi setiap konsumen memiliki kekuatan untuk memperoleh informasi yang lengkap terhadap dirinya. Jika tidak mampu menjelaskan, DPR meminta RS Omni ditutup saja.

Kuasa hukum Rumah Sakit Omni Lalu Hadi Surtoni menyatakan pihaknya akan mengikuti prosedur jika izin operasi dicabut. Namun mereka masih tetap bersikeras meneruskan gugatan terhadap Prita Mulyasari.

Gara-gara penahanan Prita pula RS Omni dituding 'main mata' dengan kejaksaan yang menahan ibu berkerudung tersebut. Kuasa hukum Prita, Slamet Yuwono, menuding Kejari Tangerang mendapatkan pelayanan gratis kesehatan di RS itu. Slamet mengindikasikan itu dari pengumuman medical check up dari RS Omni Internasional itu yang sempat dipasang di lingkungan kejari. "Namun tidak lama kemudian dicabut kembali," cetus Slamet.

Selain itu, kejaksaan dinilai telah memasukkan Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke dalam dakwaan Prita. Padahal saat dilimpahkan ke kejaksaan, Prita dikenai Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dan Slamet mengaku pihaknya sudah memiliki bukti kuat adanya praktik penyuapan dalam perkara tersebut antara pihak kejaksaan dengan RS Omni Internasional.

Merasa tuduhan tersebut tidak benar, Kejari Tangerang pun membantah tuduhan kuasa hukum Prita itu. Kajari Tangerang Suyono mengakui menerima voucher gratis dari 8 RS dari Askes, salah satunya RS Omni. "Jadi tidak benar Kejari diberikan fasilitas gratis dari RS Omni. Yang benar, semua PNS termasuk Kejari mendapatkan voucher pengobatan gratis dari PT Askes Tangerang," bantah Suyono.

Meski begitu, Jaksa Agung Hendarman Supandji melihat adanya ketidakprofesionalan Kajati Banten dan Kajari Tangerang yang memasukkan Pasal 27 UU ITE ke dalam dakwaan Prita. Jaksa yang terkait kasus itu pun diperiksa pihak Jamwas. Jika sampai terbukti intervensi RS Omni terhadap kasus Prita Mulyasari, RS itu bisa dijerat secara pidana. "Jika sampai terbukti, RS Omni bisa dituntut dengan pasal 55 dan 56 KUHP," ujar anggota DPR Komisi III Bidang Hukum, Gayus Lumbuun.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan RS Omni kecuali menunggu proses hukum Prita dan pemeriksaan Kejagung. Semua akan terkuak pada hasil proses pengadilan yang kini masih berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang. Namun yang pasti, saat ini Prita dihujani simpati dari masyarakat Indonesia, termasuk para capres JK, Mega, dan SBY. Kebalikannya, RS Omni harus menuai hukuman sosial dari masyarakat yang kini meragukan pelayanan di RS tersebut. [L4]

Tuesday 9 June 2009

MASYARAKAT ANGKAT BICARA 3

  • Egp(emang gw pikirain)

    Tutup aja sementara kalo bisa, biar OMNI mikir,dan lebih PROFESIONAL tamu/pasien adalah raja wajar kalo dia koment

    Prita juga di rawat bayar khan ga ngutang

    -- Brian, Jakarta, 09/06/2009 13:26:28 wib

  • No comment

    No Comment, Entar gw dituntut juga lagi..

    -- Mat Faleh, Jakarta, 09/06/2009 10:33:26 wib

  • Pelajaran

    pelajaran bagus!

    -- Sayed muhammad, Banda aceh, 09/06/2009 09:35:14 wib

  • Kena batunya...

    kalau memang sudah ada niatan untuk menipu dengan berbagai gaya, apalagi dengan alasan medis yang hampir 1000 persen orang awam tak tau, dan nurut apa kata dokter, maka pihak rumah sakit pasti akan senang karena ada tambahan pemasukan, meski hanya sakit pilek, kalau perlu harus masuk IGD agar ada pemasukan. itu berarti penipuan berkedok alasan medis, nah kini kena batunya deh...

    -- Salmon, Jakarta, 08/06/2009 20:52:10 wib