Friday 12 June 2009

RS Omni Terancam Jeratan Pidana

09/06/2009 - 12:02
RS Omni Terancam Jeratan Pidana
Gayus Lumbuun
(inilah.com /Raya Abdullah)

INILAH.COM, Jakarta - Intervensi Rumah Sakit Omni Internasional terhadap kasus Prita Mulyasari tengah diselidiki. RS yang diragukan label internasionalnya bisa dijerat secara pidana jika terbukti melakukan intervensi sehingga pasal 27 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat dimasukkan dalam kasus Prita Mulyasari.

"Jika sampai terbukti, RS Omni bisa dituntut dengan pasal 55 dan 56 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," kata Anggota DPR Komisi III Bidang Hukum, Gayus Lumbuun di Jakarta, Selasa (9/6).

Gayus memaparkan, pasal-pasal tersebut terkait dengan keikutsertaan dalam suatu konspirasi kejahatan. Indikasi dari intervensi tersebut antara lain dari adanya dugaan pemberian sejumlah fasilitas layanan gratis di RS Omni Internasional kepada para jaksa dari Kejaksaan Negeri Tangerang.

Ia menegaskan, pihak Kejagung harus terbuka dalam pemeriksaan terhadap pihak Kejari Tangerang dan Kejaksaan Tinggi Banten.

"Kejagung harus memperhatikan kepentingan rakyat," ujar Gayus.

Kapuspenkum Kejagung Jasman Panjaitan sempat mengatakan, pihaknya akan mengkaji kebenaran pelayanan gratis kesehatan tersebut. "Itu (layanan gratis) sebatas ide, tapi belum ada yang memanfaatkanya," ujar Jasman. [*/ana]

PENEGAK HUKUM MUDAH SAJA BERKELIT...

Politik
10/06/2009 - 13:43
Kejari Ngaku Dapat Voucher Gratis RS Omni

INILAH.COM, Tangerang - Kejari Tangerang membantah tuduhan menerima pengobatan gratis dari RS Omni Tangerang. Namun diaku mereka menerima voucher gratis dari 8 RS, salah satunya RS Omni.

Menurut Kajari Tangerang Suyono, mereka diberikan voucher gratis medical cek-up (MCU) dan paps smear melalui rujukan surat PT Askes Kantor Cabang Utama Tangerang, Banten.

"Jadi tidak benar Kejari diberikan fasilitas gratis dari RS Omni, yang benar semua PNS termasuk Kejari mendapatkan voucher pengobatan gratis dari PT Askes Tangerang," kata Suyono di Tangerang, Rabu (10/6).

Menurutnya, berdasarkan surat No 309/1003/0409 tertanggal 29 April 2009 perihal pelayanan medical cek-up dan paps smear, yang ditandatangani Senior Manager PT Askes KCU Tangerang Benjamin Saut yang ditujukan kepada Kejari telah diterima sejak Mei 2009 lalu.

"Dari surat rujukan tersebut kita diberikan fasilitas cek-up gratis RS Omni, tetapi melalui keterangan memiliki Askes dari PT Askes," kata Suyono.

Dia mengatakan, Kejari diberikan fasilitas berobat gratis di 8 RS, empat di antaranya merupakan RSUD yang berada di Banten dan empat RS swasta di Tangerang. Salah satunya surat rujukan cek-up di RS Omni, Alam Sutera, Kota Tangerang Selatan.

"Jadi pemeriksaan gratis ini tidak ada hubungannya dengan kasus Prita, kita diberikan fasilitas gratis dari PT Askes, dan RS Omni sebagai salah satu tempat medical cek-up saja," ujarnya.

Dijelaskannya, dari fasilitas gratis tersebut gaji pejabat dan pegawai Kejari sebagai peserta medical check up dipotong dua persen. Setiap pegawai Kejari diberikan voucher check up gratis dari PT Askes sejak 1 Mei hingga 30 Juni 2009.

"Voucher gratis dari PT Askes tersebut tidak selamanya digunakan di 8 RS, apalagi saya tidak pernah ke sana (RS Omni) sendirian, melainkan kita dijemput dengan mobil operasional Omni untuk berobat, sampai saat ini saya tidak pernah melakukan check up di RS Omni," katanya.

Sementara itu, Kepala Seksi Hubungan Pelanggan PT Askes KCU Tangerang Yan Rizard mengatakan ada sekitar 49 intansi pemerintahan di Kabupaten Tangerang termasuk Kejari Tangerang yang sedang mendapatkan program promotif dan preventif, salah satunya pelayanan MCU dan paps smear di RS Omni.

"Kejari juga kita berikan fasilitas gratis pemeriksaan di beberapa RS Swasta yang vouchernya diberikan oleh PT Askes, jadi pejabat maupun staff Kejari berhak berobat di RS Omni," imbuhnya. [*/ana]

MANAJEMEN RS OMNI SEMENA-MENA

Politik
11/06/2009 - 20:13
Tahan Prita, Jaksa Dikecam Arogan

Prita Mulyasari
(inilah.com/Wirasatria)

INILAH.COM, Tangerang - Tindakan jaksa yang menyeret Prita Mulyasari (32) ke meja hijau dan ditahan di LP Wanita Tangerang menuai kecaman. Jaksa dinilai arogan.

"Tindakan jaksa itu tidak manusiawi dan salah sasaran, maka sebaiknya Prita dibebaskan saja dari tuntutan hukum," tuntut Ketua LSM Pergerakan Islam Untuk Tanah Air (PINTAR) Alfian Tanjung di Tangerang, Kamis (11/6).

Ia menegaskan, Prita harus dibebaskan tanpa syarat, karena tindakan yang telah dilakukan kejaksaan keliru dan menyimpang dari UU.

Manajemen rumah sakit itu, katanya, bertindak sewenang-wenang terhadap warga yang membutuhkan pertolongan medis.

PINTAR menuntut pemerintah meninjau kembali UU yang mengatur kesehatan dan pelayanan dokter serta rumah sakit, sedangkan UU itu hanya berpihak kepada dokter dan RS ketimbang pasien yang kedudukannya lemah.

Sikap lainnya, yaitu ada persoalan lumpuhnya moral dan rasa keadilan penegak hukum. Mereka harus belajar kembali bagaimana memahami UU dengan benar, sehingga tak salah langkah dan merugikan pihak lain.

Diharapkan KPK turun tangan dan bersikap proaktif untuk mengecek kemungkinan adanya transaksi keuangan pada alat negara itu.

Prita Mulyasari didakwa mencemarkan nama baik RS Omni Internasional, Serpong, Kota Tangerang Selatan melalui surat elektronik (e-mail) yang disampaikan kepada rekannya akibat pelayanan RS yang tidak maksimal.

Bahkan Prita diseret ke meja hijau karena dianggap telah melanggar UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elekronika (ITE) dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Atas tindakan itu, maka Prita akhirnya dijebloskan ke LP Wanita Tangerang selama 21 hari dengan status tahanan, lalu diubah menjadi tahanan kota dan diperbolehkan melihat kedua anak dan suami di rumahnya. [*/ana]

JANGAN MENTANG-MENTANG PUNYA BACKING KUAT...

Politik
12/06/2009 - 14:30
Kajati Banten Dicopot Terkait Prita

INILAH.COM, Jakarta - Kajati Banten Dondy K Sudirman dicopot dari jabatannya yang diduga terkait kasus penanganan Prita Mulyasari. Dondy K Sudirman diangkat menjadi staf ahli Jaksa Agung.

"Sedangkan posisi Kajati Banten, diisi oleh Abdul Wahab Hasibuan yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kajati (Wakajati) Sumatera Selatan," kata Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan, di Jakarta, Jumat (12/6).

Kapuspenkum menyatakan posisi Dondy K Sudirman menjadi staf ahli merupakan mutasi melalui Surat Keputusan (SK) Jaksa Agung Nomor 02/A/JA/VI/2009 tanggal 5 Juni 2009. "SK itu merupakan hasil rapat pimpinan," ujarnya.

Kendati demikian, Kapuspenkum membantah jika penggantian jabatan Kajati Banten tersebut merupakan pencopotan akibat penanganan perkara Prita Mulyasari.

"Ini mutasi biasa, dan dilakukan terhadap pejabat lainnya," bantahnya.

Sementara itu, Jamwas Hamzah Tadja, menyatakan, tidak menutup kemungkinan Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang akan turut diperiksa juga.

Ia menegaskan pihaknya sampai sekarang masih akan melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak yang menangani perkara Prita Mulyasari. "Saya akan ngomong kalau sudah selesai semua pemeriksaan," pungkasnya. [*/ana]

LABEL INTERNATIONAL? GAK BAKALAN NGURUSIN PRITA KAYAK GINI

Politik
12/06/2009 - 19:45
Menkes: Omni Bukan RS Internasional
Siti Fadillah
(inilah.com/ Subekti)
\
INILAH.COM, Surabaya - Keraguan DPR terjawab terkait label internasional RS Omni. Menurut Menkes, RS itu bukan bertaraf internasional.

"Saya akan berkoordinasi dengan Deplu untuk meninjau nama internasional yang dipakai beberapa rumah sakit," kata Siti Fadillah usai konferensi pers tentang pemberlakukan status waspada virus H1N1 (flu babi) di Indonesia, Surabaya, Jumat (12/6).

Menkes menegaskan bahwa RS Omni International milik orang Indonesia.

"Masalahnya terkait kasus Prita (pencemaran nama baik) dan kasus itu sebenarnya sudah berlangsung setahun, sejak Agustus 2008, karena itu kita nggak bisa intervensi sampai kasusnya selesai," ujarnya.

Namun, jika kasusnya dalam ranah hukum sudah selesai dan RS Omni International dinyatakan bersalah, maka akan ada tindakan dalam ranah kesehatan.

"Saya sebenarnya sudah memanggil pimpinan RS Omni International bersama MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Bahkan saya sudah mengumpulkan data-data sebelum memanggil mereka," katanya.

Dalam pertemuan itu, pemerintah dan Omni sepakat menunggu proses hukum yang berlangsung, kemudian MKDKI yang akan memberikan rekomendasi kepada Menkes.

"Nanti, saya akan bertindak sesuai rekomendasi dari MKDKI itu. Yang jelas, saya juga akan menertibkan pemakaian nama internasional bagi rumah sakit swasta yang nggak ada kaitannya dengan lembaga internasional," pungkasnya. [*/ana]

Wednesday 10 June 2009

BODOHNYA OMNI HOSPITALS

Politik
10/06/2009 - 17:43
'Bunuh Diri' RS Omni
Ana Shofiana Syatiri
Prita Mulyasari
(inilah.com/Wirasatria)

INILAH.COM, Jakarta - Niat hati ingin membungkam Prita Mulyasari atas pencemaran nama baik, manajemen RS Omni malah merusak citranya sendiri. Selain pelayanannya dinilai buruk, cap internasional RS yang terletak di kawasan elite Alam Sutera, Tangerang, itu pun dipertanyakan.

Langkah manajemen RS Omni untuk membungkam Prita dengan melaporkannya ke polisi atas pencemaran nama baik, boleh jadi awal penyedia jasa kesehatan itu 'menikam' dirinya sendiri. Keluhan Prita di milis bukan membuat mereka bercermin untuk memperbaiki pelayanan, malah memperkarakan ibu dua anak yang masih menyusui tersebut.

'Belati' yang dipakai oleh RS Omni adalah tulisan Prita. Tanpa berpikir panjang, manajemen RS Omni melaporkan Prita ke polisi. Hingga akhirnya Prita ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang, dan dibui.

Penzaliman yang dilakukan RS Omni pada pasiennya yang menumpahkan kekecewaannya dinilai sudah melanggar HAM oleh anggota Komnas HAM Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Nurcholish. Catatan medis pasien saja tidak mau diserahkan RS. Anehnya malah Prita yang dijebloskan ke penjara.

Pelayanan RS Omni pun diragukan. "Ini ada indikasi kuat kasus ini merupakan kasus pengalihisuan dari substansi buruknya pelayanan kesehatan menjadi isu pencemaran nama baik," ujar Sekjen Yayasan Kesehatan Perempuan Tini Hadad.

Namun Direktur RS Omni Internasional Bina Ratna Kusumafitri membantah memberi pelayanan buruk. Pihaknya tidak memberikan hasil print cek darah pertama, yang mencatat trombosit Prita sebesar 27.000/ul, karena terjadi kesalahan dalam mendiagnosa. "Hasil tidak valid dengan nilai trombisit 27.000, karena terjadi penggumpalan dan hasil tersebut tidak di-print. Kalau di-print terjadi malapraktik karena tidak seusai dengan penyakit diagnosa sebenarnya," ujar Ratna.

Pihak RS mengaku tidak ada unsur kesengajaan atas perbedaan diagnosa cek darah Prita yang kedua, yakni jumlah trombosit 181.000/ul. Yang disesalkan pihak RS adalah cara Prita yang menuliskan email berjudul 'Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tanggerang' tanpa klarifikasi dan menyebarkannya ke milis. Hal itu dinilai sangat merugikan RS Omni.

Harap-harap dapat pembelaan, manajemen RS Omni malah dipanggil menghadap Komisi IX DPR. Label internasional RS ini pun dipertanyakan. Sebab Depkes tidak mengetahui dari mana label internasional RS tersebut. Anggota komisi IX Max Sopacua juga mempertanyakan tentang perlindungan konsumen yang tertuang dalam pasal 4 UU 8/1999. Pasal tersebut berbunyi setiap konsumen memiliki kekuatan untuk memperoleh informasi yang lengkap terhadap dirinya. Jika tidak mampu menjelaskan, DPR meminta RS Omni ditutup saja.

Kuasa hukum Rumah Sakit Omni Lalu Hadi Surtoni menyatakan pihaknya akan mengikuti prosedur jika izin operasi dicabut. Namun mereka masih tetap bersikeras meneruskan gugatan terhadap Prita Mulyasari.

Gara-gara penahanan Prita pula RS Omni dituding 'main mata' dengan kejaksaan yang menahan ibu berkerudung tersebut. Kuasa hukum Prita, Slamet Yuwono, menuding Kejari Tangerang mendapatkan pelayanan gratis kesehatan di RS itu. Slamet mengindikasikan itu dari pengumuman medical check up dari RS Omni Internasional itu yang sempat dipasang di lingkungan kejari. "Namun tidak lama kemudian dicabut kembali," cetus Slamet.

Selain itu, kejaksaan dinilai telah memasukkan Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke dalam dakwaan Prita. Padahal saat dilimpahkan ke kejaksaan, Prita dikenai Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dan Slamet mengaku pihaknya sudah memiliki bukti kuat adanya praktik penyuapan dalam perkara tersebut antara pihak kejaksaan dengan RS Omni Internasional.

Merasa tuduhan tersebut tidak benar, Kejari Tangerang pun membantah tuduhan kuasa hukum Prita itu. Kajari Tangerang Suyono mengakui menerima voucher gratis dari 8 RS dari Askes, salah satunya RS Omni. "Jadi tidak benar Kejari diberikan fasilitas gratis dari RS Omni. Yang benar, semua PNS termasuk Kejari mendapatkan voucher pengobatan gratis dari PT Askes Tangerang," bantah Suyono.

Meski begitu, Jaksa Agung Hendarman Supandji melihat adanya ketidakprofesionalan Kajati Banten dan Kajari Tangerang yang memasukkan Pasal 27 UU ITE ke dalam dakwaan Prita. Jaksa yang terkait kasus itu pun diperiksa pihak Jamwas. Jika sampai terbukti intervensi RS Omni terhadap kasus Prita Mulyasari, RS itu bisa dijerat secara pidana. "Jika sampai terbukti, RS Omni bisa dituntut dengan pasal 55 dan 56 KUHP," ujar anggota DPR Komisi III Bidang Hukum, Gayus Lumbuun.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan RS Omni kecuali menunggu proses hukum Prita dan pemeriksaan Kejagung. Semua akan terkuak pada hasil proses pengadilan yang kini masih berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang. Namun yang pasti, saat ini Prita dihujani simpati dari masyarakat Indonesia, termasuk para capres JK, Mega, dan SBY. Kebalikannya, RS Omni harus menuai hukuman sosial dari masyarakat yang kini meragukan pelayanan di RS tersebut. [L4]

Tuesday 9 June 2009

MASYARAKAT ANGKAT BICARA 3

  • Egp(emang gw pikirain)

    Tutup aja sementara kalo bisa, biar OMNI mikir,dan lebih PROFESIONAL tamu/pasien adalah raja wajar kalo dia koment

    Prita juga di rawat bayar khan ga ngutang

    -- Brian, Jakarta, 09/06/2009 13:26:28 wib

  • No comment

    No Comment, Entar gw dituntut juga lagi..

    -- Mat Faleh, Jakarta, 09/06/2009 10:33:26 wib

  • Pelajaran

    pelajaran bagus!

    -- Sayed muhammad, Banda aceh, 09/06/2009 09:35:14 wib

  • Kena batunya...

    kalau memang sudah ada niatan untuk menipu dengan berbagai gaya, apalagi dengan alasan medis yang hampir 1000 persen orang awam tak tau, dan nurut apa kata dokter, maka pihak rumah sakit pasti akan senang karena ada tambahan pemasukan, meski hanya sakit pilek, kalau perlu harus masuk IGD agar ada pemasukan. itu berarti penipuan berkedok alasan medis, nah kini kena batunya deh...

    -- Salmon, Jakarta, 08/06/2009 20:52:10 wib

biar KAPOK.... !!

Peluang Prita Tuntut Balik Rumah Sakit dan Jaksa Terbuka Lebar

Kamis, 04 Juni 2009 | 20:17 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Syamsudin Rajab mengatakan Prita Mulyasari, 32 tahun, tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan, Banten memiliki peluang mengugat balik rumah sakit maupun jaksa penuntut. "Sangat terbuka peluang menuntut balik melalui pidana maupun perdata," katanya saat dihubungi, Kamis (4/6).

Sebelumnya, Prita ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei, karena digugat pihak rumah sakit secara perdata dan pidana. Gugatan tersebut dilayangkan pihak rumah sakit setelah Prita berkeluh kesah tentang layanan rumah sakit tempat ia dirawat saat itu melalui email pribadinya pada 15 Agustus. Prita dijerat dengan Pasal 27 junto 45 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada Rabu, Prita dikeluarkan dari tahanan dan berstatus tahanan kota, setelah ada tekanan dari publik.

Syamsudin menjelaskan, dalam proses dakwaan oleh jaksa penuntut tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan. Bahkan, Kepala Kepolisian RI, Jenderal Bambang Hendarso Danuri pun mengakuinya. Jaksa Agung melalui keputusannya, kata dia, juga menyatakan jaksa penuntut bertindak tidak profesional dalam dakwaan. Masuknya pasal 27 junto 45 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam dakwaan juga harus dibuktikan. "kami menduga ada hubungan jaksa memasukannya dengan kepentingan rumah sakit," ujarnya.

Apalagi, dia melanjutkan penggunaan delik pencemaran nama baik dalam kasus ini yang digunakan Rumah Sakit Omni Internasional juga tidak tepat. Dalam Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pidana berkaitan pencemaran nama baik unsurnya, seseorang dan merendahkan martabat. "Ini tidak tepat memaknai, pencemaran nama baik tidak bisa digunakan untuk institusi dan badan hukum," ujarnya.

Seharusnya, kata dia, Rumah Sakit Omni Internasional dengan status Internasional itu menekankan profesionalisme. Dengan menerima kritik dari pasien untuk perbaikan internal dalam pelayanan. "Bukan dengan kriminalisasi atas kritik," katanya. Padahal, kata dia, hal yang wajar ketika konsumen atau pasien itu berkeluh kesah atas setiap pelayanan publik yang tidak baik.

Gugatan baik itu, menurut Syamsudin, akan diperkuat dengan pelanggaran Rumah Sakit Omni Internasional atas Undang Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. "Prita sebagai konsumen berhak mendapatkan haknya atas hasil medical record," katanya. Sebelumnya, Rumah Sakit menutupi hasil medical record setelah melakukan check up. "Ini menjadi dasar gugatan ke Rumah Sakit," katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Patra M Zen mengatakan, Rumah Sakit bisa digugat atas pelanggaran Undang Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Hak pasien tidak diberikan rumah sakit dan ada dugaan perbuatan mal praktek. "Seharusnya dalam kasus ini diselidiki dulu dugaan pelanggaran mal praktik, baru gugatan pencemaran nama baik," katanya. Karena, kata dia, jika terbukti melakukan mal praktik, dokter yang bersan sangkutan harus disidang oleh majelis etik.

PBHI, kata Syamsudin, akan meminta pertanggungjawaban Menteri Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia atas pelanggaran hak pasien oleh rumah sakit. "Kami akan minta ijin rumah sakit dievaluasi," katanya. Selain itu, PBHI juga akan menggalang dukungan kriminalisasi pasien oleh pihak rumah sakit.

Ketua Setara Institut, Hendardi menilai penggunaan Undang Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengancam kebebasan berpendapat dan bisa menjadi tameng penutup bagi dugaan koropsi, mal administrasi, keburukan layanan publik dan mal praktik dalam kedokteran. "justru aturan seperti ini mengingkari jaminan kepastian hukum, dan jaminan HAM," katanya.

EKO ARI WIBOWO

ngapusi

Kejaksaan Bantah Akui Diservis Rumah Sakit Omni

Selasa, 09 Juni 2009 | 13:39 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Pandjaitan membantah berita Koran Tempo hari ini yang berjudul “Kejaksaan Akui Diservis RS Omni”.

“Berita yang mengatakan seolah-olah saya mengakui, itu tidak benar,” kata Jasman di kantornya, Selasa (9/8). “Saya tak pernah mengatakan itu.”

Menurut Jasman, kepada wartawan kemarin dia hanya mengatakan, “Siapa tahu rumah sakit itu punya program bakti sosial.” Dia mengatakan, kejaksaan tidak punya kerja sama dengan pihak Rumah Sakit Omni Internasional untuk pemeriksaan kesehatan jaksa.

Terkait tudingan pengacara Prita Mulyasari mengenai adanya himbauan di Kejaksaan Negeri Tangerang untuk melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Omni dalam bentuk selebaran, Jasman mengaku belum mengetahui hal itu. “Kalau memang ada nanti akan diteliti. Dibuat oleh siapa dan siapa yang menempelkan,” katanya.

Kasus Prita Mulyasari mencuat setelah kejaksaan menahannya karena kasus pencemaran nama baik dokter dan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Status Prita sendiri telah dialihkan menjadi tahanan kota.

Sebelumnya, ibu 32 tahun itu mendekam di Penjara Wanita Tangerang sejak 13 Mei. Ia ditahan karena membuat surat elektronik tentang keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni. Pada Kamis pekan lalu ia menjalani sidang perdana kasus ini.

ANTON SEPTIAN

Tiga Dokter Rumah Sakit Omni Akan Dilaporkan ke Polisi

Selasa, 09 Juni 2009 | 09:22 WIB

TEMPO Interaktif, Tangerang: Prita Mulyasari akan melaporkan tiga dokter Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong ke polisi karena telah memberikan keterangan palsu di bawah sumpah. ”Karena mereka Prita menderita,” ujar Kuasa Hukum Prita Mulyasari, Samsu Anwar, kepada Tempo, Selasa 9/6.

Tiga dokter tersebut adalah, dr Hengky Gozal yang menangani Prita ketika dirawat dirumah sakit itu, dr Grace penanggung jawab komplain RS Omni dan dr Indah yang merupakan dokter umum RS Omni. ”Kami akan melaporkan mereka dengan perkara pidana,” kata Samsu. Selain itu, Samsu melanjutkan, pihaknya akan melaporkan RS Omni secara perdata.

Menurutnya, para dokter tersebut telah memberikan keterangan palsu selama bersaksi di Pengadilan Negeri Tangerang dalam perkara perdata Prita Mulyasari melawan RS Omni Internasional. ”Mereka tidak memberikan keterangan sebagaimana mestinya,”kata dia.

Samsu mengatakan, semestinya para dokter tersebut memberikan kesaksian dengan memperlihatkan hasil rekam medis pemeriksaan terhadap pasiennya. ”Tapi itu tidak dilakukan,”. Karena sikap para dokter tersebut Prita divonis bersalah dalam perkara perdata tersebut.

Para dokter tersebut, kata Samsu, tidak menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang praktek kedokteran.” Pasien tidak diberikan informasi yang cukup dan tidak ada rekam medisnya,”tuturnya. Menurut Samsu, semestinya pihak Rumah Sakit dan dokter memberikan informasi yang benar agar pasiennya mengetahui secara pasti penyakit yang dideritanya. ”Berobat dan pelayanan medis menyangkut nyawa manusia,” kata Samsu.

JONIANSYAH

Departemen Kesehatan Pertimbangkan Cabut Izin RS Omni

Selasa, 09 Juni 2009 | 20:22 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Departemen Kesehatan memperhatikan rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai pencabutan izin operasional Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang.

Rekomendasi pencabutan itu terkait kasus Prita Mulyasari, penulis surat elektronik tentang lepayanan RS Omni. Akibat tulisannnya yang tersebar di Internet, rumah sakit tersebut menggugat Prita karena dianggap mencemarkan nama baik.

"Kami perhatikan rekomendasi itu, tapi keputusannya menanti sidang majelis kedokteran," jelas Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Farid W. Husein ketika dihubungi, Selasa (9/6).

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, kata Farid, kini tengah menganalisa kasus RS Omni dengan pasiennya Prita Mulyasari. Analisa tersebut menyangkut pelayanan rumah sakit terhadap pasien Prita, sehingga tak puas dan menulis keluhannya dalam email.

Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin lalu menginginkan izin RS Omni dicabut terkait gugatannya terhadap Prita. Prita sempat dipenjara selama tiga minggu karena menyebarkan surat elektroniknya itu. Prita diancam hukuman enam tahun dan denda Rp 1 miliar.

Keputusan Komisi Kesehatan ini muncul setelah rapat dengar pendapat antara manajemen RS Omni. Manajemen RS Omni mengaku sudah berupaya menyelesaiakan masalahnya secara kekeluargaan dengan Prita.

Hasil keputusan Majelis Kehormatan itulah, Farid menambahkan, yang akan menjadi pertimbangan keputusan Departemen Kesehatan. "Apakah izinnya dicabut atau tidak," jelasnya.

Izin operasional suatu rumah sakit memang dikeluarkan Departemen Kesehatan. Sedangkan izin pembangunan rumah sakit, keluar dari pemerintah daerah.

Pencabutan izin juga harus mempertimbangkan tenaga medis yang bekerja. "Termasuk nasib dokter dan manajemennya," urai Farid. Maka Departemen Kesehatan tak mau gegabah memutuskan untuk mencabut izin suatu rumah sakit

Jaksa Kasus Prita Tunggu Hasil Pemeriksaan Kejaksaan Agung

Selasa, 09 Juni 2009 | 22:34 WIB

TEMPO Interaktif, Tangerang: Muhamad Irfan Jaya, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Tangerang yang merekomendasikan jaksa Riyadi sebagai jaksa penuntut umum mendampingi Rakhmawati Utami, jaksa peneliti sekaligus jaksa penuntut umum pada perkara Prita Mulyasari, 32 tahun, mengaku masih menunggu hasil pemeriksaan dari tim pemeriksa Kejaksaan Agung.

“Kita menunggu saja, yang jelas materi pertanyaan tidak bisa saya sampaikan. Kami diperiksa secara intens sampai pukul 23.00 malam, Senin (8/6),”kata Irfan kepada Tempo di kantornya, Selasa (9/6) sore.

Irfan mengatakan pada pemeriksaan itu jawaban atas pertanyaan dilakukan berita acara pemeriksaan (BAP). Meskipun demikian, ia merasa semua yang dilakukan sudah sesuai prosedur.

Terkait penahanan Prita, Irfan memberikan alasan bahwa itu perintah pimpinan. “Ada perintah dari Kejaksaan Tinggi Banten yang diteruskan ke Kejaksaan Negeri Tangerang. Ya saya meminta jaksa untuk segera melaksanakan perintah (-penahanan) saat itu juga,”kata irfan.

Penahanan Prita sebenarnya juga dikuatkan dengan penetapan hakim persidangan sebagai tahanan rumah tahanan (Rutan) dan ketika ditangguhkan penahanannya menjadi tahanan kota itu juga kewenangan hakim.

Selain Irfan, Riyadi juga merasa sudah lega setelah dilakukan npemeriksaan. Ia mengaku cukup tenang menjawab seluruh pertanyaan yang disampaikan tim pemeriksa Kejaksaan Agung. "Soal hasil kita serahkan Kejagung, saya menjalankan tugas sudah sesuai prosedur," kata Riyadi.

Irfan dan Riyadi dan beberapa jaksa lainnya diperiksa Kejaksaan Agung sehubungan kasus Prita Mulyasari. Mereka diduga tidak tepat menerapkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat Prita. Prita sempat ditahan tiga pekan karena digugat perdata dan pidana oleh Rumah Sakit Omni Internasional terkait surat elektronik Prita yang berisi keluhan pelayanan Rumah Sakit Omni.

Saturday 6 June 2009


Tag: rumah sakit, Prita Mulyasari, UU ITE, prita, OMNI International

Sebarkan Digg Delicious MySpace

Terkait:

Siapa saja yang merating artikel ini:

Komentar:

Yudiantoro 0 0
alasan etika kedokteran.. cih! justru kalo mereka menahan info tersebut dari pasien maka mereka melanggar uu praktek kedokteran... susah kalo ngomong sama makelar pengacara...
perempuan api 0 0
omongan yang sungguh bodoh.
perempuan api 2 suka | 0
udah KABUR dan GA JELAS kok dipakai untuk membuat keputusan medis. ckckck....
Herman Saksono 2 suka | 0
Baca lagi komentarnya setelah itu:

"Lebih jelas yang 180ribu. Ngapain sih ngotot minta hasil yang gak jelas? Bukannya malah lebih bagus kalo dapet hasil yang jelas ya?

Saya gak ngerti apa motivasi Bu Prita sebenernya. Dia itu ditunggangi siapa sebenernya...”
irfan darsina 0 0
jadi sebetulnya, di mana kesalahan Prita?

Harusnya Kepolisian dan kejaksaan segera bertindak karena pihak rs sdh menyembunyikan informasi medis yang menjadi hak pasien untuk mengetahui.... Seperti kata Yudiantoro, ada UU Praktek Kedokteran yang dilanggar di situ.

Ato itu juga delik aduan? Kalo begitu, kita dukung prita membuat laporan pengaduan pidana atas tindakan pihak dokter/rs menyembunyikan informasi medis itu...
slathem 0 0
kadang2 aku nyoba ke pengobatan alternatif...ga pake rekam medis... tapi rekam jejak rekan...

*yang jelas kabur....* : D
5cmlegacy 0 0
jadi inget film Keanu Reeves & AL Pacino
the devil's advocate

sounded familiar? ; )