Saturday 6 June 2009

Menggugat surat Elektronik

Pencemaran Nama Baik
Menggugat Surat Elektronik

Rumah Sakit Omni Internasional menggugat Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik lewat milis. Nasib yang sama menimpa Iwan Piliang, yang menulis tentang Alvin Lie.

IKLAN setengah halaman itu benar-benar mencolok mata. Berjudul ”Pengumuman dan Bantahan”, advertensi itu, September lalu, muncul di harian Kompas. Pengordernya, Rumah Sakit Omni Internasional, salah satu rumah sakit swasta di Tangerang, Banten. Intinya, bantahan Omni terhadap surat elektronik alias email Prita Mulyasari berjudul ”Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang”, yang dikirim sebuah mailing list (milis).

Surat elektronik itu membuat Omni berang. Menurut pengacara Omni Internasional, Heribertus, isi surat Prita telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta sejumlah dokter mereka: Hengky Gosal dan Grace Hilza Yarlen Nela. ”Padahal, tidak ada penyimpangan etika kedokteran dan prosedur penanganan pasien,” ujar Heribertus.

Omni memang tidak main-main menanggapi surat elektronik Prita. Selain melaporkan Prita ke polisi, Omni juga menggugat perempuan tersebut secara perdata. ”Sudah kami daftarkan ke Pengadilan Negeri Tangerang,” kata Heribertus.

Kasus ini bermula dari surat elektronik Prita yang berisi pengalamannya saat dirawat di unit gawat darurat Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Saat itu ia menderita sakit kepala dan mual-mual. Di bagian gawat darurat ia ditangani dokter jaga, Indah.

Dari pemeriksaan laboratorium, dinyatakan trombosit darah warga Villa Melati Mas Tangerang ini 27.000, jauh di bawah normal yang seharusnya sekitar 200.000. Prita diminta menjalani rawat inap dan memilih dokter spesialis. Sesuai dengan saran Indah, ia memilih dokter Hengky. Diagnosis dokter menyatakan ia terkena demam berdarah.

Menurut Prita, ia lalu mendapat suntikan dan infus yang diberikan tanpa penjelasan dan izin keluarganya. Belakangan, ia kaget pada saat Hengky memberitahukan revisi hasil laboratorium tentang jumlah trombosit darahnya. Yang awalnya 27.000 kini menjadi 181.000. Dokter juga menyatakan ia terkena virus udara.

Lantaran tak puas dengan perawatan di rumah sakit itu, Prita memutuskan pindah rumah sakit. Nah, di sini muncul persoalan baru. Tatkala ia meminta catatan medis lengkap, termasuk semua hasil tes darahnya, pihak rumah sakit menyatakan tidak bisa mencetak data tersebut.

Prita lantas menghadap Manajer Pelayanan RS Omni, Grace. Hasilnya sama saja. Inilah yang lantas membuat ia, pada 15 Agustus 2008, menulis surat elektronik ke sejumlah rekannya. ”Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr Grace, dr Hengky, dr Mimi, dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda,” tulis Prita dalam suratnya.

Surat Prita ini rupanya sampai juga ke manajemen Omni Internasional. Omni mengambil langkah cepat. Selain memasang iklan, ya itu tadi, ”memberi pelajaran” untuk Prita, melaporkan pe-rempuan tersebut ke polisi.

Prita sendiri sampai kini belum diperiksa polisi. Dihubungi Tempo, ia menolak diwawancarai. ”Maaf, saya sedang berlebaran,” ujarnya. Menurut Heribertus, polisi sudah mengirim surat panggilan pemeriksaan Prita pada akhir September lalu. ”Tapi ia batal hadir.”

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, menyesalkan sikap Omni yang membawa kasus ini ke ranah hukum. Menurut Sudaryatmo, surat elektronik yang disebarluaskan Prita adalah dalam konteks meminta klarifikasi. ”Ekspresi dari ketidakpuasan pelayanan untuk diselesaikan,” katanya. Yang penting, ujarnya, isinya tidak menghakimi.

Surat elektronik berbuntut perkara juga menimpa Narliswandi Piliang, wartawan yang kerap menulis di situs Presstalk.com. Gara-gara suratnya yang ia kirim ke milis Forum Pembaca Kompas, Iwan, demikian pria ini biasa disapa, pertengahan Juli lalu dilaporkan anggota DPR Alvin Lie ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Alvin mengaku dirugikan dengan email bertajuk ”Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto”, yang dimasukkan Iwan ke Forum Pembaca pada 20 Juni lalu. Dalam surat itu, antara lain tertulis: PAN meminta uang Rp 2 triliun kepada Adaro agar di DPR tidak dilakukan hak angket menghambat IPO Adaro. Bahkan Alvin Lie, anggota DPR dari PAN, datang ke kantor Adaro menemui Teddy P. Rahmat. ”Menurut sumber saya itu, Alvin pun meminta uang mulai dari Rp 6 triliun, terakhir Rp 1 miliar untuk dirinya,” tulis Iwan.

Alvin menganggap tulisan Iwan itu merusak kredibilitasnya. ”Seratus persen fitnah,” ujarnya. Karena itu, katanya, kendati Iwan sempat mengontaknya, ia tetap melaporkan wartawan itu ke polisi. Teguh Samudera, pengacara Alvin, menjerat Iwan dengan pasal pencemaran dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang yang baru disahkan pada Maret silam.

Pada Akhir Agustus lalu, Iwan sudah diperiksa tim penyidik Unit Cyber Crime Polda Metro Jaya. Hanya, sampai saat ini, status Iwan masih saksi, belum tersangka. Selain Iwan, moderator milis Forum Pembaca Kompas, Agus Hamonangan, juga sudah diperiksa. ”Saya dimintai keterangan seputar cara kerja dan tanggung jawab moderator mengatur milis,” kata Agus.

Iwan menyesalkan Alvin yang membawa kasus ini ke polisi. ”Harusnya dia memahami prosedur kerja jurnalistik itu,” ujarnya. Menurut Iwan, ia mendapat informasi tentang Alvin seperti yang ditulisnya di milis tersebut dari Apa Kabar.Com. Ia kemudian mewawancarai sejumlah sumber lain, termasuk meminta konfirmasi Ketua Partai Amanat Nasional, Soetrisno Bachir.

Artikelnya itu, 18 Juni silam, ia masukkan ke Presstalk. Dua hari kemudian baru ia kirim ke milis Forum Pembaca Kompas. Lantaran menganggap Undang-Undang Informasi membahayakan orang-orang seperti dirinya, pekan ini Iwan akan mengajukan judicial review undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, juga tak setuju dengan cara yang dipakai Alvin untuk menyelesaikan kasus yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Menurut Abdullah, Forum Pembaca Kompas dan Presstalk, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, masuk kategori pers. Seharusnya, Alvin bisa mengadukan kasusnya ini ke Dewan Pers.

Dalam kasus Iwan, kata Alamudi, penggunaan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Elektronik untuk menjerat wartawan itu juga tidak tepat. Pada akhir April lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Muhammad Nuh, telah menjamin pasal 27, yang bisa menyeret siapa pun ke penjara karena melakukan penghinaan lewat sarana elektronik, tidak mencakup pers. ”Menurut Menteri, nanti dalam peraturan pemerintah itu tidak menyangkut pers,” katanya. Apalagi, kata Alamudi, Undang-Undang Pers menyatakan, pers wajib melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Martha W. Silaban

No comments:

Post a Comment